REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Haedar Nashir*
Abu Dzar
al-Ghifari sahabat Nabi SAW yang zuhud dan wara. Sebagai sosok yang
saleh dan sangat bersahaja. Dia bahkan tokoh ternama ahl al-shufah, yang
selalu berkumpul di beranda rumah Nabi bersama mereka yang ahli ibadah,
tetapi cenderung menjauhi dunia. Ketika figur yang baik ini meminta
jabatan, seraya Nabi mencegahnya. Bahwa urusan publik harus ditunaikan
oleh ahlinya sekaligus mampu mempertanggungjawabkannya.
Umar bin
Khattab ketika hendak menerima amanat kekhalifahan menggantikan Abu
Bakar merasa berat, karena betapa ia merasa tak mampu melampaui kebaikan
Khalifah pertama itu. Padahal, sejarah mencatat betapa Umar yang lebih
suka disebut Amir al-Mu'minin itu terbilang pemimpin yang kuat, sukses,
dan paling menjunjung tinggi amanat dalam mengurus rakyat. Dialah sosok
al-Faruq.
Khalid bin Walid setelah masuk Islam menjadi panglima
perang tertangguh hingga dijuluki Nabi sebagai syaifullah (pedang
Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak, dan Syam di masa Khalifah
Umar bin Khattab tidak lepas dari keperkasaan Khalid. Tetapi, dalam
peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Umar dari jabatannya
sebagai panglima perang. Bagaimana sikap Khalid? Dia ikhlas menerimanya
seraya berkata, aku berperang bukan karena Umar, melainkan karena
Allah.
Bagi Nabi dan para sahabatnya yang utama jabatan bukan
posisi yang ditempati, apalagi harus dikejar dengan hasrat ambisi.
Jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan
pertanggungjawaban yang tinggi. Kesatriaan (al-futuwwah) siapa pun yang
bersedia memegang jabatan umat atau rakyat terletak pada penunaian
amanah dan pertanggungjawabannya dengan penuh kehormatan diri.
Komitmen jabatan
Di
negeri ini, para elite dan anak-anak negeri banyak berburu
jabatan-jabatan publik dengan penuh percaya diri. Demokrasi telah
mengajarkan secara fasih bagaimana para elite berebut posisi politik
tanpa rasa sungkan, tidak jarang dengan sikap narsis, dan gampang
beriklan diri. Demi posisi tinggi, politik uang dan upeti pun menjadi
tradisi, yang tidak jarang diperoleh dengan korupsi. Semuanya seolah
serbamudah dan sekadar jalan mobilitas diri seakan tanpa konsekuensi.
Semoga
niat utama meraih posisi-posisi publik yang penting dan strategis itu
benar-benar bermotif mengabdi pada negeri dan mengurus hajat hidup
rakyat. Sebagai jalan mewujudkan cita-cita nasional yang diletakkan oleh
para pendiri bangsa ini. Lebih bermakna lagi manakala menjadi jalan
menuju rida Tuhan. Sebab, setiap posisi publik selain dibayar dengan
uang rakyat, seluruhnya memang untuk mengurus hajat hidup orang banyak
sehingga negeri ini semakin maju, adil, makmur, bermartabat, dan
berdaulat.
Alangkah naif manakala jabatan-jabatan publik itu
hanya dijadikan lahan mobilitas diri untuk meraih kuasa, harta, dan
kejayaan duniawi. Sejumlah kasus tragis menunjukkan mereka yang sudah di
posisi-posisi publik itu kalau tidak korupsi dan menyalahgunakan
kekuasaan, kemudian pindah posisi, bahkan lompat jabatan baru ke yang
lebih tinggi sebelum jabatan lama usai. Jabatan-jabatan penting itu
malah dijadikan "bancakan" untuk bagi-bagi uang dan posisi, sekaligus
memperkaya diri dan kroni. Mereka lupa posisi yang ditempati bukanlah
miliknya sendiri, melainkan sekadar titipan rakyat untuk ditunaikan
sebagai amanah terpuji.
Tahun 2014, pasti akan menjadi masa
paling krusial di negeri ini. Para menteri dan politisi sudah bersiap
diri 'nampang' posisi hingga iklan diri dengan uang dari kementeriannya.
Janji dan pesona diri tentu akan semakin bertaburan. Para wakil rakyat
pun malah giat bangun toilet dan ruang sidang miliaran rupiah seolah
uang negara adalah miliknya sendiri. Rupanya jabatan bukan lagi amanat
yang harus dipertanggungjawabkan secara jujur dan penuh komitmen,
kecuali menjadi sarana bermegah-megah di tengah derita rakyat yang
diwakili dalam hidup miskin dan teraniaya sistem.
Kita tidak tahu
persis apa yang bersarang dalam benak pikiran para elite dan anak
negeri yang menempati jabatan-jabatan publik di negeri ini. Bagaimana
mereka menjiwai, memahami, memaknai, dan melaksanakan fungsi jabatan
yang diembannya dengan pertanggungjawaban total. Apa yang mereka cari?
Jangan-jangan Max Weber benar ketika mengatakan, profesi politik itu
mata pencaharian. Orang banyak mengejar dan memperebutkannya sekadar
untuk kenyang diri dan kroni. Lalu, nilai dan idealisme sekadar ornamen
indah tanpa makna, karena yang dikejar ialah posisi, materi, dan
mobilitas diri yang tak bertepi.
Lemah karakter
Rakyat
sesungguhnya gundah dengan perangai para elitenya yang banyak polah.
Sebelum menduduki posisi mereka mungkin banyak sosok idealis. Bahwa
politik dan jabatan publik itu jalan berkhidmat untuk kemajuan bangsa
dan negara, bukan mengejar harta dan takhta. Uang dan jabatan pun
diperoleh dengan cara halal, bukan dengan muslihat dan upeti. Jabatan
pun ketika sudah di tangan dimanfaatkan untuk pengkhidmatan, sekaligus
dapat dipertanggungjawabkan sebagai amanah di hadapan Tuhan. Tunaikan
amanah karena tak ada iman bagi yang tak menunaikan amanah, sabda Nabi.
Bagi
mereka yang idealis jabatan bukan diburu, apalagi dipertukarkan dengan
uang dan jabatan lain yang menggiurkan. Jabatan pantang diselewengkan
dan dijadikan lahan korupsi dan penyimpangan. Sekali jabatan diterima
maka saat itu jabatan berubah menjadi amanah dan janji yang wajib
ditunaikan dengan kesungguhan. Taruhannya kehormatan diri, bahkan jiwa.
Jabatan bukanlah kejayaan dan kemegahan diri. Jabatan bukan dijadikan
jalan tol memenuhi hasrat-hasrat loba dan tamak.
Ketika banyak
pejabat publik menyelewengkan jabatan dan menjadikannya lumbung uang
serta kemegahan tanpa rasa sungkan, sesungguhnya akar masalahnya bukan
pada sistem belaka, tetapi pada penyakit mental mereka. Penyakit
lemahnya karakter diri selaku manusia-manusia yang tangguh dengan
prinsip dan makna hidup, sekaligus tahan cobaan dan godaan duniawi.
Mereka kehilangan karakter amanah, kejujujuran, kesetiaan, kesahajaan,
kebaikan, kesatriaan, dan kepatutan. Mereka bahkan kehilangan rasa malu
dan kehormatan diri.
Penyakit lemah karakter yang menumbuhkan
jiwa korup, penyimpangan, kemegahan, dan lupa diri boleh jadi tumbuh
dalam virus keterbelakangan mentalitas laksana orang yang tiba-tiba
"munggah bale" (naik takhta) kemudian mengalami kejutan budaya. Penyakit
"munggah bale" tidak mengenal latar belakang suku, ras, dan golongan.
Tidak pula mereka yang sekuler atau agamis. Bagi mereka yang agamis
bahkan penyakit jenis ini diperkuat dengan spirit dan dalih keagamaan
sehingga terkesan sakral dan sarat pesona moral.
Penyakit
"munggah bale" telanjur meluas dan diproduksi lewat berbagai media yang
populer, mengundang hasrat anak-anak bangsa lainnya untuk mengikuti
jejak berebut takhta tanpa pertanggungjawaban moral yang tinggi. Banyak
anak negeri bahkan belajar menjadi broker guna menapaki tangga politik,
yang mengorbankan idealisme kebeliaan. Seolah jabatan dan mobilitas
hidup itu sekadar nilai guna, yang harus diraih dengan cara apa saja
untuk kesenangan dan kejayaan diri minus nilai dan makna utama.
Mentalitas
"munggah bale" dipersubur oleh hasrat berlebih melahirkan akumulasi
ketamakan kuasa. Orang biasa dan terpandang, elite sekuler dan agamis,
setelah berkuasa sama-sama lapar takhta dan harta. Pada setiap kemegahan
dan ketamakan selalu ada dalih pembenar yang meyakinkan publik. Kata
pepatah Arab, singa-singa lapar tak mendekat ke telaga bila
anjing-anjing telah menjilatnya. Tapi, bagi para singa berdasi, apa saja
boleh tanpa rasa sungkan. Alhakumu at-takatsur, hatta jurtumu
al-makabir. (QS At-Takatsur: 1-2)
Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tulisan ini dikutip dari Harian Republika Edisi Minggu, 15 Januari 2012 dengan judul "Berburu Kursi"